Facebook Facebook Facebook Facebook
This is an example of a HTML caption with a link.

KC net

0 comments

Numpang iklan :)
KC.NET selain sebagai warnet, KC.NET melayani pengetikan komputer, instalasi/servis komputer & laptop,jual software & game murah.KC.NET bertempatkan dijalan Yusuf Arif no 21 Kota Palopo

Panduan Shalat Idul Fithri dan Idul Adha

0 comments



Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.

Berikut adalah panduan ringkas dalam shalat ‘ied, baik shalat ‘Idul Fithri atau pun ‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa penjelasan ulama. Semoga bermanfaat.

Hukum Shalat ‘Ied
Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,

أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.“[2]

Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3]
Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.
Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman Allah Ta’ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.

Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”[4]

Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]
Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]
Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.[8]

Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.“[9]

An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”[10]

Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied
Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]

Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]

Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.
Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]

Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied.[14]

Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[15]

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]

Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:
[1] Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]

[2] Di antara lafazh takbir adalah,

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

“Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]

Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar“, itu juga diperbolehkan.[19]

Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.
Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,

نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]

Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.“[21]

Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“[22]

Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.“[23]

Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied
Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.

“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[24]
Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]

Tata Cara Shalat ‘Ied
Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[26]

Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.

Kedua
: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]

Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي

Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.

Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,

كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]
Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]

Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).

Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.

Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.

Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.

Khutbah Setelah Shalat ‘Ied
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]

Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at).[32] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[33] Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”[34]
Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,

إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”[35]

Ucapan Selamat Hari Raya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya“. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”

Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at
Bila hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair.
Dalil dari hal ini adalah:

Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,

أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».

“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan melaksanakannya.”[36]

Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[37] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.[38]
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[39]

Catatan:
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied dan shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum’at yang bertepatan dengan hari ‘ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid.
Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied –baik pria maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka’at) sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jum’at.[41]

Demikian beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha. Semoga bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Pangukan, Sleman, di hari yang baik untuk beramal sholih, 7 Dzulhijah 1430 H.

Sumber : Muslim.or.id

Meneladani Nabi Ibrahim

0 comments

Hari raya ‘Iedul Adha. Ya, itu merupakan hari raya bagi umat Islam selain hari raya ‘Iedul Fitri. Hari dimana umat Islam yang berada di Mekkah sana melaksanakan ibadah haji. Hari dimana berbagi kebahagiaan di antara kaum muslimin. Dan yang paling berkesan adalah saat penyembelihan hewan kurban. Umat islam bergotong royong, saling membantu satu sama lain. Hal ini terlihat ketika penyembelihan dimulai hingga pembagian daging hasil sembelihan.

Mungkin cukup itu saja pembukaan tulisan ini. Jika kita tilik lebih jauh, sejarah penyembelihan kurban itu sendiri berasal dari kisah Nabi Ibrahim bersama putranya Nabi Ismail ‘alaihimash shalatu wa sallam. Jika kita mau merenungi, banyak sekali keteladanan  yang dapat kita ambil dari Nabi Ibrahim ‘alaihish shalatu wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh, Ibrahim adalah seorang Imam (yang dapat dijadikan teladan), qaanitan (patuh kepada Allah), dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang menyekutukan Allah).” (QS. An-Nahl: 120) Mari kita bahas satu per satu.

Sebagai Teladan

Nabi Ibrahim disebut dengan Abul Anbiya (bapaknya para nabi). Tidaklah seorang nabi setelah Nabi Ibrahim kecuali semuanya berasal dari keturunan Beliau. Nabi Ibrahim disebut juga seorang Imam karena beliau menjadi teladan bagi kita semua. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan di surat Al-Furqan ayat 74 yang artinya, “Dan jadikanlah kami sebagai Imam (pemimpin) bagi orang yang bertakwa.” Yang dimaksud Imam pada ayat di atas adalah dijadikan sebagai teladan bagi orang-orang yang hidup sesudahnya.

Qaanitan
Nabi Ibrahim adalah seorang hamba yang patuh. Dimana ia mendahulukan perintah Allah dengan cara manta’atinya. Siapa yang tidak kenal dengan kisah Beliau yang meninggalkan istrinya (Hajr) dan putranya (Nabi Ismail), di tanah yang gersang tanpa meninggalkan bekal apa pun. Hal ini menunjukkan rasa bahwa cinta Beliau kepada Allah melebihi rasa cintanya terhadap istri dan anaknya. Padahal kita tahu bahwa istri dan anak adalah salah satu godaan terbesar di dunia. Yang bisa menyebabkan seseorang terlalu mencintai dunia dan melalaikan akhiratnya.

Hanif
Beliau adalah seorang yang berpegang teguh terhadap kebenaran, tidak berpaling untuk meninggalkannya. Tidak pernah terlintas di pikiran beliau untuk meninggalkan agama yang benar ini. Jadi sudah sepantasnya dan seharusnya kita meneladani beliau dalam berpegang teguh pada ajaran yang benar ini.

Bukanlah Seorang Musyrik
Nabi Ibrahim bukanlah termasuk orang yang menyekutukan Allah. Ada anggapan keliru bahwa Nabi Ibrahim pernah bingung terhadap Tuhannya. Ayat ini membantah bahwa Beliau tidaklah pernah sama sekali menyekutukan Allah. Namun kita lihat praktek umat Islam jaman sekarang, masih banyak di antara umat Islam yang melakukan amalan menuju kesyirikan, bahkan telah mencapai derajat kesyirikan itu sendiri. Padahal kesyirikan adalah dosa yang tak terampuni dan pelakunya akan kekal di dalam neraka.

Sungguh ayat yang telah disebutkan di atas pertama kali menunjukkan keteladanan seorang Nabi Ibrahim. Kita sebagai umat Islam yang mengaku beriman kepada Beliau, hendaknya menjadikan Beliau sebagai teladan kita. Oleh karena itu, sepatutnya bagi kita mencontoh Beliau, karena Beliau adalah Khalilurrahman, Sang Kekasih Allah Ta’ala. Jika kita hendak dicintai oleh Allah Ta’ala, maka contohlah Nabi Ibrahim. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmat dan hidayah kepada kita semua. Amin.

Sumber : aboeaswad

Bacaan Doa Niat Shalat Idul Adha

0 comments

Bacaan Doa Niat Shalat Idul Adha - Bulan Haji atau Bulan Zulhijah dimana umat muslim dunia berkumpul d Mekah untuk melaksanakan haji serta, Qurban hewan bagi umat muslim yang mampu.Bagi sebagian orang sholat Idul adha ini masih cukup membingungkan karena ada beberapa perbedaan dengan sholat yang biasanya terutama pada saat mengangkat Takbir. Berikut ini sedikit penjelasan tentang doa niat dan tata cara shalat idul adha.karea tidak jauh beda dengan sholat idul fitri.

Bacaan Niat Shalat Idul Adha
“Ushalli sunnatal li'iidil Adha rak'ataini (imamam/makmumam) lillahita'aalaa”

Arti Niat
“Aku niat shalat idul Adha dua rakaat (imam/makmum) karena Allah Ta'ala.”

Tata Cara Shalat Idul Adha
Shalat Id (Idul Adha) dilakukan 2 rakaat. Prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun, ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.

Bacaan Setiap Selesai Takbir
“Subhaanallaah wal hamdulillaahi wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar.”

Arti Bacaan
“Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah dan tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah itu Maha Besar.”

Takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku', yaitu merupakan takbir tambahan selain takbir yang sering dilakukan pada shalat lainnya. Sebagaimana dijelaskan oleh 'Aisyah dalam riwayatnya: "Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku'." Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca.

Rukun dan Sunnat Shalat Idul Adha
Rukun dan sunnat Shalat idul Adha sama halnya dengan shalat-shalat lainnya, namun ada beberpa penambahan. Rukun dan sunnat shalat Idul Adha yaitu sebagai berikut:


1. Berjamaah
2. Takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua
3. Mengangkat tangan setinggi bahu pada setiap takbir.
4. Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih.
5. Membaca surat pendek.
6. Imam menyaringkan bacaannya.
7. Khutbah dua kali setelah shalat sebagaimana khutbah jum’at
8. Pada khutbah Idul Adha memaparkan tentang hukum – hukum Qurban.
9. Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya.
10. Makan terlebih dahulu sebelum Shalat Idul Adha

Nah itu beberapa penjelasan tentang Niat dan Tata Cara Shalat Idul Adha semoga memberikan manfaat kepada kita semua. selamat BERQURBAN semoga ibadah kita diterima Alloh SWT Aamiin


Sumber : Kucoba.com

Cara Memasang Komentar Facebook di Blog

0 comments


Berikut ini saya coba posting tentang bagaimana caranya untuk membuat "Komentar Facebook di Blog", setelah saya mencari beberapa artikel tentang bagaimana caranya agar pembaca postingan blog kita dapat mengomentari postingan dengan menggunakan akun Facebook mereka sendiri.

Langsung saja kita menuju ke TKP untuk mempraktekannya. 
  1. Login dulu ke akun Blog kamu 
  2. Pilih "Templet" =>"Edit Html" => "Lanjutkan"
  3. Setelah Edit HTML terbuka seperti biasanya jangan lupa untuk mencentang "Expand Template Widget" 
  4. setelah itu cari kata <data:post.body/> lalu copas scrip dibawah ini tepat dibawah <data:post.body/

    <b:if cond='data:blog.pageType == &quot;item&quot;'>
    <script src='http://connect.facebook.net/en_US/all.js#xfbml=1'/>
    <div><fb:comments expr:href='data:post.url' expr:title='data:post.title' expr:xid='data:post.id' num_posts='1' width='600'/></div>
    </b:if>
  5. Langkah terakhir simpan templet kamu dan lihat hasilnya pada postingan kamu.

    Semoga bermanfaat dan semoga berhasil. 

Berbakti Kepada Orang Tua

0 comments

Suatu hari ketika tangisan bayi terdengar, siapakah yang paling bahagia pertama kali? Ya, mereka adalah kedua orang tua dari bayi itu. Kemudian mereka akan merawat bayi tersebut dengan penuh kasih sayang. Membesarkannya dengan penuh rasa cinta, bahkan rela berkorban agar anaknya dapat terus bertahan hidup dan bahagia. Memang seperti itulah perhatian orang tua kepada anaknya, terkhusus sang ibu.

Dari Abu Hurairah, ada seorang yang bertanya, “Ya, Rasulullah siapakah orang yang paling berhak kuperlakukan dengan baik?” Nabi bersabda, “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian bapakmu, kemudian kerabat yang dekat dan yang dekat.” (HR Muslim no 6665)

Jadi seorang anak harus membalas kebaikan kedua orang tuanya, yaitu dengan berbakti kepada mereka berdua. Seorang anak tidak akan mampu membalas kebaikan kedua orang tuanya meskipun ia bersungguh-sungguh berbuat baik kepada mereka berdua. Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Seorang anak tidak akan dapat membalas jasa kedua orang tuanya, kecuali ia dapati (orang tua) nya sebagai seorang hamba sahaya, lalu ia membelinya kemudian memerdekakannya.” (HR. Muslim)

Berbakti kepada orang tua adalah amal shalih yang sangat agung, bahkan lebih utama dibandingkan jihad di jalan Allah. Dari Ibnu Mas’ud ia berkata, ‘Aku bertanya kepada Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam, Amalan apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab, “Mendirikan shalat tepat pada waktunya.” ‘Kemudian apa?’ Tanyaku. Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Di antara cara berbakti kepada orang tua
[1] Mendoakan keduanya dan memohonkan ampun bagi mereka
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan ucapkanlah, ‘Wahai Rabbku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu aku kecil.’” (QS. Al-Israa’: 24) Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk senantiasa berdoa kepada kedua orang tua, dengan memohonkan rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala.

[2] Merendahkan diri di hadapan mereka
Hal ini merupakan sebagai wujud sikap tawadhu’ seorang anak terhadap kedua orang tuanya dan rasa kasih sayang seorang anak. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang.” (QS. Al-Israa’: 24)

[3] Menyambung kekerabatan
Di antara cara kita berbakti kepada orang tua adalah dengan menyambung kekerabatan selama keduanya masih hidup, dan setelah salah satu atau keduanya telah meninggal. Dan yang paling baik adalah menyambung kekerabatan dengan kawan ayahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya (salah satu) kebaikan yang paling baik (berkaitan dengan orang tua) adalah seorang anak menyambung hubungan (silaturahmi) dengan kawan dekat ayahnya.” (HR. Muslim)

Teladan ulama salaf dalam berbakti kepada orang tua
Dari Muhammad bin Sirin diriwayatkan bahwa ia bercerita, “Pada masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan, harga sebatang kurma mencapai seribu dirham. Maka Usamah (bin Zaid) mengambil dan menebang sebatang pokok kurma dan mencabut umbutnya (yakni bagian di ujung pokok kurma berwarna putih, berlemak, berbentuk seperti punuk onta biasa dimakan bersama madu, pent.), lalu diberikan kepada ibunya untuk dimakan. Orang-orang bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau melakukan hal itu, padahal engkau tahu bahwa pokok kurma ini harganya mencapai seribu dirham?” Beliau menjawab, “Ibuku menghendakinnya. Setiap ibuku menginginkan sesuatu yang mampu kudapatkan, aku pasti memberikannya.”
[1]
Dari Hisyam bin Hassan, dari Hafshah binti Sirin diriwayatkan bahwa ia menceritakan, ‘Apabila Muhammad (bin Sirin) menemui ibunya, ia tidak pernah berbicara kepadanya dengan suara keras, demi menghormati ibunya.”[2]

Lihatlah akhlak ulama terdahulu kepada kedua orang tua, ia tidak bersuara keras jika di depan orang tuanya. Sebagaiman Allah perintahkan kepada kita agar berkata-kata yang baik kepada orang tua. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya samapai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada kedua orang tuamu perkataan ‘ah’, dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah keduanya perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa’: 23)

Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dan memudahkan kita agar dapat berbakti kepada orang tua. Jangan sia-siakan amalan shalih ini sementara kedua orang tua kita masih ada.

Sumber :  Belajar Sunnah

Meninggalkan Shalat Bisa Membuat Kafir

0 comments

Banyak yang mengaku Islam di KTP, senang melakukan puasa Ramadhan bahkan ada yang sudah berhaji, namun untuk masalah yang satu ini sulit diperhatikan, yaitu shalat. Kadang ditinggalkan dan shalatnya pun bolong-bolong. Yang lebih parah lagi, ada yang mengaku Islam di KTP, namun tidak pernah shalat sama sekali.

Kami teringat dengan perkataan khalifah Umar bin Khottob, Laa islama liman tarokash sholaah” [Tidak disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat]. Ini beliau katakan di akhir-akhir hidup beliau di hadapan para sahabat dan tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Sampai-sampai para ulama katakan bahwa para sahabat sepakat akan kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan meskipun meyakini wajibnya.

Hal ini pun dikuatkan dengan berbagai dalil yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat, di antaranya hadits, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari Buraidah Al Aslami)

Tulisan kali ini hanyalah ingin memperkuat artikel lama yang telah dipublish di rumaysho.com yaitu mengenai masalah hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan. Dalil perincian dan berbagai kasus orang meninggalkan shalat telah dibahas dalam artikel Dosa Meninggalkan Shalat Lebih Besar dari Dosa Berzina”. Jadi kami harap bisa merujuk pada artikel tersebut terlebih dahulu.

Sebagaimana yang kami sebutkan dalam tulisan tersebut, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa meninggalkan shalat dengan sengaja tidaklah kafir –selama meyakini shalat itu wajib-. Pendapat ini diikuti pula oleh ulama-ulama belakangan seperti Syaikh Al Albani rahimahullah sebagaimana dalam risalah beliau Hukmu Tarikish Sholah.

Berikut kami akan membawakan sebagian alasan ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja serta sanggahan untuk pendapat tersebut. Penjelasan berikut kami sarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam risalah beliau berjudul ‘Hukmu Tarikish Sholah’, juga kami tambahkan dari penjelasan Syaikh ‘Amru bin ‘Abdul Mun’im Salim hafizhohullah dalam ‘Al Manhaj As Salafi ‘inda Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani’.

Sanggahan Pertama
Bagaimana jika ada yang berpendapat bahwa nash-nash (dalil-dalil) yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat yang dimaksudkan adalah kafir karena mengingkari kewajibannya?

Jawabannya :
Hal ini tidak diperbolehkan karena ada dua bahaya yaitu :
Pertama. Ini berarti telah menihilkan sifat dan hukum yang telah dikatakan oleh syari’at. Syari’at ini telah mengaitkan hukum kufur karena meninggalkan shalat dan bukan karena mengingkari kewajibannya. Syari’at ini juga telah mengaitkan adanya hubungan ukhuwah (persaudaraan) karena mengerjakan shalat dan bukanlah karena cuma sekedar meyakini kewajibannya. Allah tidaklah berfirman (sebagaimana pendalilan dalam At Taubah ayat 11 di atas), ”Jika mereka bertaubat, meyakini wajibnya sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” Juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bersabda, “(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah mengingkari wajibnya shalat.” Seandainya yang demikian yang dimaksudkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka tentu saja akan dijelaskan. Maka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah mengingkari wajibnya shalat berarti telah menyelisihi dalil yang ada. Allah Ta’ala berfirman,

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS. An Nahl [16] : 89)

Kedua. Ini bearti telah mengaitkan sesuatu yang tidak dianggap oleh syari’at sebagai hukum. Jika seseorang mengingkari wajibnya shalat lima waktu maka dia telah kafir dengan sendirinya tanpa ada alasan jahil (bodoh), baik dia mengerjakan shalat ataupun tidak. Misalnya ada seseorang mengerjakan shalat lima waktu dengan memenuhi syarat, rukun dan wajib shalat bahkan disempurnakan dengan sunnah-sunnah shalat, akan tetapi dia mengingkari wajibnya shalat tanpa ada udzur (alasan), maka orang seperti ini tetaplah kafir walaupun dia tidak meninggalkan shalat.

Dari dua bahaya di atas, maka telah jelas pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan meninggalkan shalat yaitu meninggalkan kewajibannya adalah pendapat yang keliru.

Sanggahan Kedua
Bagaimana jika ada yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan kufur meninggalkan shalat pada dalil-dalil yang ada adalah kufur nikmat dan bukan kufur akbar (yang mengeluarkan seseorang dari Islam), sebagaimana terdapat dalam hadits :

اثْنَتَانِ فِى النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِى النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

Dua perkara yang termasuk kekufuran adalah mencela nasab (keturunan) dan meratapi mayit.” (HR. Muslim no. 236)

Atau pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Mencela muslim adalah suatu kefasikan sedangkan memerangi sesame muslim adalah kekufuran.” (HR. Tirmidzi no. 2846. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)

Jawabannya :
Maksud dan pemahaman seperti ini tidaklah benar ditinjau dari beberapa sisi :
Pertama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan shalat sebagai pembatas (pembeda) antara keimanan dan kekafiran atau antara mukmin dan kafir. Namanya pembatas pasti akan membedakan antara yang dibatasi dan akan mengeluarkannya dari yang lainnya. Salah satu dari dua hal yang dibatasi ini tidaklah masuk pada yang lain.

Kedua. Shalat merupakan salah satu rukun Islam. Shalat disifati dengan kufur maka ini berarti kufur yang dimaksudkan adalah kufur yang menyebabkan keluar dari Islam karena orang yang melakukan hal ini berarti telah menghancurkan salah satu rukun Islam. Dan ini berbeda dengan kata kufur yang dimutlakkan bagi orang yang melakukan perbuatan orang kafir.

Ketiga. Ada dalil lain yang menunjukkan bahwa kufur meninggalkan shalat adalah kufur yang mengeluarkan dari Islam (seperti yang terdapat dalam hadits penguasa yang disebutkan di atas).

Keempat. Perlu diperhatikan bahwa penyebutan kata kufur dalam hadits itu berbeda-beda. Misalnya tentang meninggalkan shalat dikatakan,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ

Kata kufur di sini menggunakan alif lam. Dan ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah kufur hakiki (yang sebenarnya) yaitu kufur yang menyebabkan keluar dari Islam. Ini berbeda jika kata kufur itu menggunakan bentuk nakiroh (tanpa alif lam) atau kufur dengan menggunakan lafazh fi’il (kata kerja). Jika menggunakan kedua lafazh ini, biasa yang dimaksudkan adalah bukan kufur yang mengeluarkan dari Islam.
Kelima. Kaedah penting yang perlu diperhatikan sebagaimana dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al Iqtidho’ dan juga Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah:

“Tidaklah semua yang melakukan salah satu cabang kekufuran adalah kafir mutlak sampai dia mengerjakan hakekat kekufuran. Begitu pula, tidaklah semua yang melakukan salah satu cabang keimanan dikatakan beriman sampai melakukan pokok dan hakekat keimanan.”

Jadi orang yang mencela nasab, meratapi mayit atau mencela muslim berarti telah melakukan bentuk kekufuran. Namun, kekafiran di sini tidaklah mengeluarkan dari Islam karena adanya dalil yang lain. Ini berbeda dengan orang yang meninggalkan shalat. Dia telah melakukan hakekat kekufuran sehingga dapat dihukumi keluar dari Islam.

Sanggahan Ketiga
Para ulama yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat dengan sengaja tidaklah kafir biasanya berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاء

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang berada di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’ [4] : 48)

Jawabannya :
Sanggahan dari pendapat ini adalah bahwa kalimat ‘maa duna dzalika’ dalam ayat tersebut yang paling tepat bermakna ‘dosa yang berada di bawah kesyirikan’ dan bukanlah ‘dosa yang selain syirik’. Kenapa demikian?

Ingatlah ada juga dosa yang tidak diampuni namun dia bukanlah syirik. Seperti mendustakan Allah dan Rasul-Nya adalah termasuk dosa yang tidak akan diampuni, padahal perbuatan semacam ini tidak termasuk kesyirikan. Jadi, apabila ‘maa duna dzalika’ pada ayat tersebut bermakna ‘dosa selain syirik’ maka perbuatan mendustakan Allah dan Rasul-Nya akan termasuk dosa yang mungkin diampuni, namun ini jelas keliru.

Namun, jika kita tetap menerima bahwa yang dimaksudkan dengan ‘maa duna dzalika’ dalam ayat ini bermakna ‘dosa selain syirik’, maka ini adalah lafazh khusus tetapi tercakup di dalamnya kekufuran, sehingga dapat diartikan ‘maa duna dzalika’ adalah ‘dosa selain syirik dan selain kekufuran yang mengeluarkan dari Islam dan tidak diampuni walaupun tidak termasuk kesyirikan’. Kesimpulannya, ayat ini bukanlah dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkan shalat itu tidaklah kafir.

Bahkan meninggalkan shalat telah Nabi namakan dengan kesyirikan. Cermati hadits-hadits yang menyatakan meninggalkan shalat termasuk kesyirikan.

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)

Jadi berdalil dengan ayat An Nisa’ ayat 48 sangatlah tidak tepat dalam masalah ini.

Sanggahan Keempat
Ada juga ulama yang berdalil tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dengan dalil umum seperti hadits Mu’adz bin Jabal,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

Tidaklah seorang hamba bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah; dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, kecuali Allah mengharamkan neraka baginya.” (HR. Muslim no. 157)

Jawabannya :
Sebagai sanggahan, hadits umum di atas telah dikhususkan dengan hadits-hadits yang menyatakan kufurnya orang yang meninggalkan shalat .

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)

Bahkan orang yang benar-benar bersyahadat sangat tidak mungkin jika tidak mengerjakan shalat. Ada hubungan yang sangat erat antara syahadat dan amal.

Sanggahan Kelima
Para ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat juga berdalil dengan hadits umum seperti,

فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan kalimat ‘laa ilaha illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah] dengan mengharap wajah Allah.” (HR. Bukhari no. 5401)

Jawabannya :
Hal ini juga bisa disanggah dengan mengatakan bahwa bagaimana mungkin orang yang mengucapkan kalimat ‘laa ilaha illallah’ seperti ini bisa meninggalkan shalat, ini sungguh tidak mungkin. Kalau seseorang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’ ikhlas dan jujur dalam hatinya pasti dia akan mengerjakan shalat dan tidak mungkin meninggalkannya. Shalat adalah tiang agama ini. Dan shalat adalah penghubung antara hamba dan Rabbnya. Kalau seseorang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’ dengan jujur demi mengharap wajah Allah, maka tentu saja dia akan melakukan sesuatu yang akan mengantarkan pada yang demikian dan menjauhi perkara yang akan menghalanginya. Jadi, shalat merupakan konsekuensi dari syahadat seorang muslim.

Sanggahan Keenam
Ulama yang tidak mengkafirkan shalat juga berdalil dengan hadits dari Hudzaifah bin Al Yaman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يَدْرُسُ الإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْىُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا صِيَامٌ وَلاَ صَلاَةٌ وَلاَ نُسُكٌ وَلاَ صَدَقَةٌ وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِى لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِى الأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ يَقُولُونَ أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا ». فَقَالَ لَهُ صِلَةُ مَا تُغْنِى عَنْهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ وَلاَ صِيَامٌ وَلاَ نُسُكٌ وَلاَ صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلاَثًا كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِى الثَّالِثَةِ فَقَالَ يَا صِلَةُ تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ. ثَلاَثًا.

Islam akan hilang sebagaimana hilangnya motif pakaian sehingga tidak diketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu nusuk (sembelihan), dan apa itu zakat. Kitabullah akan diangkat pada suatu malam. Lalu tidaklah tersisa di dunia satupun ayat dari kitabullah. Kemudian akan tersisa sekelompok manusia yang terdiri dari pria dan wanita yang tua renta. Mereka mengatakan, ’Kami mendapati nenek moyang kami mengucapkan kalimat ‘lailaha illallah’, lalu kami ikut mengatakan kalimat tersebut.” Lalu Shilah (seorang tabi’in senior) mengatakan kepada Hudzaifah, “Tidak bermanfaat bagi mereka kalimat ‘laa ilaha illallah’ sedangkan mereka dalam keadaan tidak mengetahui shalat, puasa, nusuk (menyembelih) dan zakat.” Kemudian Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi perkataannya sampai tiga kali. Namun hanya direspon oleh Hudzaifah dengan berpaling. Setelah ketiga kalinya, Hudzaifah menghadap Shilah seraya mengatakan,”Wahai Shilah, la ilaha illalloh itu menyelamatkan neraka dari neraka. (disebut 3x). (HR. Ibnu Majah no. 4185)

Jawabannya :
Sebagai sanggahan, hukum yang nampak dari hadits ini adalah khusus untuk orang yang tidak mengetahui hukum shalat, puasa, nusuk (sembelihan) dan zakat. Inilah yang nampak dari hadits di atas : ‘sehingga tidak diketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu nusuk (sembelihan), dan apa itu zakat’.
Ini berarti dengan tersebarnya kejahilan tentang hukum shalat, puasa, nusuk, dan zakat, maka pantas bagi mereka selamat dari neraka disebabkan kalimat tauhid (laa ilaha illallah) yang dimiliki. Orang-orang yang keadaannya seperti ini adalah orang yang meninggal setelah bersyahadatain dan belum mengerajakan syari’at Islam, juga termasuk orang baru masuk Islam di negeri kufur dan belum mengetahui ilmu-ilmu syari’at.

Sanggahan Ketujuh
Ulama yang tidak menyatakan kafir juga berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْعِبَادِ فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

Shalat lima waktu telah Allah ‘Azza wa Jalla wajibkan bagi hamba-Nya. Barangsiapa mengerjakannya, tidak mengabaikannya sedikitpun dan tidak pula meremehkan haknya ini, maka Allah berjanji  akan memasukkannya dalam surga. Dan barangsiapa tidak melaksanakannya, maka Allah tidak memiliki janji. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengadzabnya dan jika Dia menghendaki, dia akan memasukkannya dalam surga.

Jawabannya :
Hadits dengan lafadz seperti ini telah dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al Muwatho’ : Dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, dari Ibnu Muhairiz, (beliau berkata) bahwa seseorang dari Bani Kinanah yang dipanggil dengan Al Mukhdajiy mendengar seorang laki-laki di Syam yang berkunyah Abu Muhammad berkata, “Sesungguhnya shalat witir itu wajib.” Al Mukhdajiy berkata, “Lalu aku mendatangi Ubadah bin Ash Shomit dan mencegahnya padahal dia hendak ke masjid. Kemudian aku mengatakan apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad.” ‘Ubadah berkata, ”Abu Muhammad telah berdusta. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’…’ Lalu beliau menyebutkan hadits di atas.

Jalur periwayatan ini juga dikeluarkan oleh Abu Daud dan An Nasa’i. Ibnu Majah juga mengeluarkan hadits ini tetapi melalui jalur ‘Abdu Robbah bin Sa’id, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban. Juga diriwayatkan dari Ahmad dari jalur Muhammad bin Yahya.

Periwayat-periwayat hadits ini tsiqoh (terpercaya) keuali Al Mukhdajiy yang kunyahnya adalah Abu Rofii’.

Al Hafizh Ibnu Hajar dalam At Taqrib mengatakan bahwa dia shoduq (jujur yaitu tingkat penilaian positif di bawah tsiqoh). Al Hafizh Adz Dzahabi menilai bahwa dia wutstsiqo (dianggap tsiqoh). Namun, tidak ada yang menyatakan bahwa Al Mukhdajiy tsiqoh (terpercaya) kecuali Ibnu Hibban. Padahal Ibnu Hibban dinilai bermudah-mudahan dalam memberi nilai tsiqoh (terpercaya) pada seorang perowi.

Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana disebutkan dalam Shohih At Targib wa At Tarhib. Namun, Syaikh Al Albani menilai hadits ini shohih berdasarkan jalur lainnya. Beliau rahimahullah mengatakan dalam Takhrij As Sunnah libni Abi ‘Aashim bahwa hadits ini shohih, namun sanadnya dho’if (lemah). Periwayat-periwayatnya tsiqoh kecuali Abu Rofii’ atau ada juga yang menyebut Rofii’ Al Mukhdajiy. Dia termasuk perowi yang majhul (tidak diketahui), tidak ada yang mengatakan tsiqoh kecuali Ibnu Hibban. Namun, dia tidak bersendirian sebagaimana Syaikh rahimahullah mengomentarinya dalam Shohih Sunan Abu Daud.

Syaikh Syu’aib Al Arnauth hafizhohulloh ketika mengomentari hadits ini dalam Musnad Imam Ahmad bin Hambal, beliau mengatakan bahwa hadits ini shohih, sanadnya adalah periwayat terpercaya (tsiqoh) yaitu periwayat-periwayat Bukhari-Muslim kecuali Al Mukhdajiy.

Namun, ada hadits shohih lain yang mirip dengan hadits ini yang dikeluarkan oleh Abu Daud. Jalurnya adalah dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atho’ bin Yasar, dari Abdullah bin Ash Shunabihiy. Dia berkata, “Abu Muhammad mengatakan bahwa shalat witir itu wajib.” Lalu ‘Ubadah bin Ash Shomit berkata, ”Abu Muhammad dusta. Aku menyaksikan sendiri bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللَّهُ تَعَالَى مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ وَصَلاَّهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ وَأَتَمَّ رُكُوعَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ كَانَ لَهُ عَلَى اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ

Shalat lima waktu telah Allah ‘Ta’ala wajibkan bagi hamba-Nya. Barangsiapa memperbagus wudhunya, mengerjakan shalat di waktunya, menyempurnakan wudhunya, dan khusyu’ ketika mengerjakannya, maka Allah berjanji  akan mengampuninya. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka Allah tidak memiliki janji. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya dan jika Dia menghendaki, Dia akan mengadzabnya.

Sanad riwayat ini adalah shohih, terlepas apakah Ash Shunabihiy sahabat ataukah bukan, ataukah nama sebenarnya Abu Abdillah Ash Shunabahiy atau Abdurrahman bin ‘Asilah. Ringkasnya, perselisihan ini semua tidaklah mempengaruhi keshohihan hadits ini.

Perhatikanlah dalam hadits kedua ini ada perbedaan dengan riwayat dari jalur Al Mukhdajiy. Dalam lafazh hadits dari jalur Al Mukhdajiy terlihat bahwa orang yang meninggalkan shalat masih berada di bawah masyi’atillah (kehedak Allah). Inilah yang nampak secara tekstual dari perkataan (وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ) [‘Dan barangsiapa tidak melaksanakannya’].

Hal ini berbeda dengan lafazh kedua yang shohih secara sanad. Dalam hadits kedua ini digunakan lafazh (وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ) [‘Dan barangsiapa tidak mengerjakannya’] dan yang dimaksudkan adalah tidak memperbagus wudhu, tidak shalat di waktunya, dan tidak menyempurnakan ruku’ dan tidak khusyu’. Dan lafazh ini bukan maksudnya adalah meninggalkan shalat secara keseluruhan. Inilah yang dinukil dari Ibnu Abdil Barr rahimahullah dalam At Tamhiid dari pendapat beberapa ulama.

Maka dengan demikian telah jelaslah bahwa hadits pertama (dari Al Mukhdajiy) dan hadits kedua (dari Ash Shunabihiy) tidak bisa menjadi dalil bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidaklah kafir sebagaimana pendapat ini dipilih oleh Syaikh Al Albani dan As Sakhowiy –semoga Allah merahmati mereka berdua-. (Pembahasan dalam sanggahan ini kami nukil dari dalam ‘Manhajus Salaf ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani’)

Kesimpulan
Kesimpulannya bahwa dalil-dalil yang digunakan oleh ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak keluar dari 4 hal :
  1. Dalil yang digunakan tidak menunjukkan sama sekali bahwa orang yang meninggalkan shalat tidaklah kafir.
  2. Dalil yang digunakan adalah dalil umum dan dikhususkan dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.
  3. Dalil yang digunakan adalah dalil muthlaq yang perlu dibawa ke dalil muqoyyad atau dalil yang digunakan harus selalu dikaitkan dengan orang yang tidak meninggalkan shalat.
  4. Dalil yang digunakan adalah untuk orang yang mendapat udzur (alasan) meninggalkan shalat karena tidak mengetahui hukum wajibnya shalat 5 waktu atau tidak adanya waktu untuk menunaikan shalat seperti baru masuk Islam dan langsung meninggal dunia.
Inilah kesimpulan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam risalah beliau Hukmu Tarish Sholah.
Kami tutup dengan nasehat khulafaur rosyidin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu-. Beliau berkata,
Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami taufik untuk selalu melakukan ketaatan pada-Mu.

Sekali lagi kami sarankan untuk merujuk kepada tulisan Dosa Meninggalkan Shalat Lebih Besar dari Dosa Berzina supaya mendapatkan perincian siapa sajakah yang kafir karena meninggalkan shalat.

Sumber : Rumaysho.com

Sudahkah Kau Amalkan Ilmu Mu?

0 comments

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, keluarganya, para shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga akhir zaman.

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa pada hari kiamat kelak manusia akan ditanya tentang ilmu yang mereka dapatkan. Untuk apa ilmu tersebut? Dari Abu Barzah  Al Aslami radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga mereka ditanya tentang empat hal…(dan Nabi menyebutkan diantaranya adalah) tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan?”[1]

Abu Darda’ berkata, “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan pada hari kiamat adalah ketika Rabb ku memanggilku di hadapan seluruh makhluk, kemudian Dia berkata,’Wahai ‘Uwaimir (nama asli Abu Darda’, pent.)! Apa yang engkau amalkan dari ilmu yang telah engkau ketahui?’”

Hal ini adalah perkara yang besar, kengerian dan kekhawatiran yang besar, karena setiap ilmu yang didapat oleh seorang hamba akan ditanya pada hari kiamat: “Ilmu mu diamalkan untuk apa?” Sesungguhnya maksud dari ilmu adalah untuk diamalkan, maka setiap manusia akan ditanya untuk apa ilmunya.

Dari riwayat salaf lainnya, “Seandainya aku selamat dari ilmu (ilmu yang telah beliau pelajari, pent.), maka impas lah, tidak menguntungkanku dan tidak pula membahayakanku”. Hal ini menunjukkan sangat wara’ (sikap hati-hati, pent.) nya para salaf dan betapa takutnya mereka meskipun mereka memiliki ilmu dan amal yang baik. Sebagaimana perkataan Al Hasan Al Bashri rahimahullah, “Sesungguhnya seorang mukmin mengumpulkan di antara kebaikan dan rasa takut (akan amalan yang tidak diterima) dan orang munafiq mengumpulkan di antara jeleknya beramal (dosa) dan banyaknya angan-angan”.  Juga perkataan ‘Abdullah bin Abi Mulaikah rahimahullah, “Aku menjumpai lebih dari 30 shahabat dan mereka semua takut diri mereka terjangkit kemunafiqan”.[2]

Maka Allah mengumpulkan mereka di antara kedudukan yang agung, yaitu kebaikan dalam beramal dan sebaik-baik dalam keta’atan. Dan sekaligus rasa takut mereka kepada Allah seandainya amalan mereka diterima atau tidak. Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan dengan hati penuh rasa takut dan yakin bahwa sesungguhnya hanya kepada Rabb mereka akan kembali”.[3]

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ini, apakah mereka adalah peminum khamr atau pezina atau pencuri? Maka beliau menjawab, ‘Tidak wahai putri Abu Bakr Ash-Shiddiq, akan tetapi mereka adalah orang yang puasa, shalat, bersedekah namun takut amal mereka tersebut tidak diterima, mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan’”.[4]

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dan ketika Ibrahim meninggikan pondasi dari Baitullah bersama Ismail dan seraya berdoa ‘Wahai Rabb kami terimalah amalan kami’”.[5]  Wuhaib bin Warad rahimahullah ketika membaca ayat ini dan beliau menangis, ia berkata, “Wahai Khalilurrahman! Engkau meninggikan Baiturrahman namun engkau khawatir jika amalan engkau tidak diterima.”[6]

Disadur dari kitab Tsamaratul ‘Ilmi karya Syaikh Abdurrozak bin Abdul Muhsin, dengan sedikit perubahan redaksi

***
Sebuah faedah yang penting bagi para penuntut ilmu dimana memiliki kewajiban untuk mengamalkan ilmunya. Karena sebelum mendakwahkannya, kita hendaknya mengamalkannya terlebih dahulu. Bagaimana kita bisa mengajak seseorang ke jalan kebenaran, namun kita sendiri tidak mengamalkannya?

Perlu diingat, ilmu bukanlah hanya sekedar hiasan di lisan dan banyaknya hapalan, namun rasa takut kita kepada Allah Ta’ala. Semakin tinggi kadar ilmu seseorang, maka semakin tinggi pula kadar rasa takutnya kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ‘ulama (orang yang berilmu).”[7]

Lupakah kita terdapat ancaman bagi orang yang tidak mengamalkan ilmunya? Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Itu sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan[8]

Coba kita lihat para salaf dimana mereka memiliki keutamaan yang lebih dibanding kita, tetapi mereka masih khawatir dan takut, apakah amalan mereka diterima atau tidak. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Mereka para salaf lebih berharap agar amalan-amalan mereka diterima daripada banyak beramal”.

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah sampai kepadaku satu hadits dari Rasulullah, kecuali aku telah mengamalkannya”. ‘Amr bin Qois rahimahullah berkata, “Jika telah sampai suatu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalkanlah meskipun hanya sekali dalam hidupmu sehingga engkau termasuk orang yang mengamalkannya.”[9]

Lihatlah semangat para salaf dalam mengamalkan ilmu, mereka bersemangat dan bersegera dalam mengamalkan ilmu, sudah sepantasnya kita merenungi apakah kita termasuk orang yang memperhatikan amal, atau lalai dalam beramal. Dan jangan sampai kita termasuk orang yang sibuk menasehati orang lain, namun melupakan diri sendiri. Ibarat lilin yang menerangi di sekitarnya, namun membakar dirinya sendiri.

Segala puji bagi Allah. Maha Suci Engkau, ya Allah, aku memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau, aku memohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu.

Sumber : Belajar Sunnah

Keagungan Ayat Kursi

0 comments

Ayat kursi adalah ayat yang paling agung di dalam Al-Quran. Karena di dalamnya terdapat 3 macam tauhid yang terkumpul di dalamnya, yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid nama dan sifat Allah. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat Kursi ini memiliki kedudukan yang sangat agung. Dalam hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa ia merupakan ayat teragung yang terdapat dalam Al-Quran.[1]

Sebagaimana yang ada pada pertanyaan yang diajukan oleh Rasulullah kepada Ubay bin Ka’ab, “Ayat mana yang paling agung dalam kitabullah?” Ubay menjawab, “Ayat Kursi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk dada Ubay kemudian berkata, “Wahai Abu Mundzir, semoga engkau berbahagia dengan ilmu yang engkau miliki.” (HR. Muslim) 

Di antara keutamaannya adalah

Membentengi diri dari gangguan setan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Apabila engkau mendatangi tempat tidur (di malam hari), bacalah Ayat Kursi, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu pagi” (HR. Al-Bukhari)
Jadi sebelum tidur, hendaknya kita merutinkan amalan ini.

Salah satu sebab masuk ke dalam surga
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membaca Ayat Kursi setelah selesai shalat, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga kecuali kematian” (HR. An-Nasa-i, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Lebih agung dari langit dan bumi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidaklah Allah menciptakan langit dan bumi melebihi agungnya Ayat Kursi (karena di dalam ayat tersebut telah mencakup Nama dan Sifat Allah)”

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Sebab ayat kursi merupakan (salah satu) kalamullah (perkataan Allah), sedangkan kalamullah itu lebih agung dari ciptaan Allah yang berupa langit dan bumi” (HR. At-Tirmidzi)[2]
Beberapa hadits di atas menunjukkan keutamaan yang terdapat dalam Ayat Kursi. Apabila kita merutinkannya, maka akan kita dapati keutamaan yang sangat banyak. Hendaknya setiap muslim bersemangat kepada apa yang bermanfaat baginya. Karena Ayat Kursi sendiri bukanlah ayat yang panjang dan sulit untuk dihapal. Semoga Allah mudahkan.

Sumber : Islam Itu Indah

Haji, Puasa dan Dzikir di 10 Hari Pertama Dzulhijjah

0 comments

Melanjutkan bahasan dalam tulisan sebelumnya mengenai bandingan amalan 10 hari pertama Dzulhijjah dengan jihad, kita akan melihat beberapa amalan yang utama di bula tersebut. Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa amalan di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah walaupun amalan yang dilakukan adalah kurang afdhol (alias ‘mafdhul’) tetap bernilai utama dibanding dengan amalan yang dilakukan di hari-hari lainnya.
1- Memperbanyak Dzikir
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan” (QS. Al Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Pendapat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama di antaranya Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Mujahid, ‘Ikrimah, Qotadah dan An Nakho’i, termasuk pula pendapat Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad (pendapat yang masyhur dari beliau). Lihat perkataan Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif, hal. 462 dan 471.
Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan,
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ . وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا . وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ .
Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10  hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”)
Takbir yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas adalah sifatnya muthlaq, artinya tidak dikaitkan pada waktu dan tempat tertentu. Jadi boleh dilakukan di pasar, masjid, dan saat berjalan. Takbir tersebut dilakukan dengan mengeraskan suara khusus bagi laki-laki.
Sedangkan ada juga takbir yang sifatnya muqoyyad, artinya dikaitkan dengan waktu tertentu yaitu dilakukan setelah shalat wajib berjama’ah.
Takbir muqoyyad bagi orang yang tidak berhaji dilakukan mulai dari shalat Shubuh pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah) hingga waktu ‘Ashar pada hari tasyriq yang terakhir. Adapun bagi orang yang berhaji dimulai dari shalat Zhuhur hari Nahr (10 Dzulhijah) hingga hari tasyriq yang terakhir.
Cara bertakbir adalah dengan ucapan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamd.
2- Menunaikan haji
Amalan yang utama di bulan Dzulhijjah ini adalah haji. Untuk para wanita, berhaji itu lebih afdhol daripada berjihad. Apalagi jika hajinya adalah haji mabrur, itu bahkan bisa mengalahkan jihad. Demikian penjelasan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif (hal. 463-464).
Dari ‘Aisyah -ummul Mukminin- radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ : لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)
3- Disunnahkan puasa awal Dzulhijjah
Yang lebih utama dari sepuluh pertama Dzulhijjah adalah puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah disesuaikan dengan hilal di negeri masing-masing tidak mesti sesuai dengan wukuf di Arafah (sebagaimana keterangan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin di sini). Begitu pula dianjurkan melakukan puasa sunnah sejak awal Dzulhijjah, yaitu 1 - 9 Dzulhijjah.
Di antara alasan kenapa dianjurkan berpuasa karena amalan tersebut ada kekhususan di mana Allah melipatgandakan pahalanya, amalan tersebut hanya untuk Allah dan Dia yang akan membalasnya. Keutamaan tersebut disebutkan dalam hadits berikut,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى
Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku...” (HR. Muslim no. 1151)
Dalam riwayat lain dikatakan,
قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku”.” (HR. Bukhari no. 1904)
Dalil yang mendukung anjuran puasa di 10 hari pertama Dzulhijjah adalah hadits dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْر.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya (hijriyah), ...” (HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiyallahu ‘anhuma-. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 461)
Amalan sholih di awal Dzulhijjah tidak hanya terbatas dengan amalan di atas. Namun itu tiga amalan penting yang bisa diamalkan.
Wallahu a’lam. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah untuk beramal sholih.

Sumber : Rumaysho.com

my faforite video

 
Akumicawa © 2011 Design by Emon Tok | Sponsored by Akumicawa